Abstrak:
Baik Deleuze maupun Badiou memandang multiplisitas sebagai sebuah persoalan yang belum tertuntaskan sejak Parmenides. Penelusuran masing-masing filsuf mengantar filsafat mutakhir ke sebuah titik bercabang antara intensitas sebuah kehidupan nomadis dan aksioma formalis subjektif.
Persoalan Satu dan Banyak (One and Many) berawal dari sebuah diskursus antara Parmenides dan Socrates yang dicatat oleh Plato dalam sebuah dialog bertajuk Parmenides. Dialog pendek sekitar 36 halaman ini telah memusingkan banyak pemikir dan menjadi katalis berbagai tafsiran, namun Deleuze dan Badiou merasa persoalan ini belum dituntaskan.
Dalam dialog itu, Parmenides, yang saat itu mendekati umur 70 dan Socrates muda yang dianggapnya masih ‘kurang’ saksama dalam pejelajahan filsafat, ‘menceramahinya’ di depan Zeno dan Aristoteles. Ikthisar dialog ini adalah sebagai berikut: bila Satu ada, maka ia juga merupakan satu bagian dari banyak. Dan bila ia berada di antara banyak maka ia sekaligus Banyak dan Satu. Bila ia ada, maka ia tidak bisa berada; kalau ia ada maka ia tidak bisa sekaligus ada dan tiada, karena begitu ia ada ia akan terangkum dalam banyak. Sebaliknya, bila Satu tidak ada, maka banyak tidak bisa diperhitungkan, karena begitu banyak dihitung maka Satu akan selalu ada supaya banyak bisa berada. Pada akhir dialog yang memusingkan ini, Parmenides menyimpulkan: Maka, jikalau Satu tiada, yang lain tiada, dan tidak juga bisa dibayangkan keberadaannya, satu ataupun banyak.
Tidak juga, bila satu tiada, yang lain bisa berada, atau tampil serupa atau tidak serupa, atau sama atau beda, atau bersentuhan atau terpisah, dan seterusnya dengan segala karakteristik lain yang telah kita kupaskan sepertinya dimiliki oleh mereka.
Dengan demikian, secara ringkas, kita boleh menyimpulkan: Bila tiada satu, tiada apapun sama sekali.
Pada kesimpulan ini kita bisa tambahkan. Bahwa terasa, lepas dari ada atau tiadanya satu, baik satu dan yang lain, serupa ataupun tidak serupa, berada dan tidak berada, dan keberadaannya tampil dan tidak tampil, dalam segala hal dan gaya, berkaitan dengan mereka sendiri dan antar satu dengan yang lain. Senantiasa tak terabaikan.
Sebuah kesimpulan yang tidak memberikan pembenaran pasti pada salah satu posisi antara Satu dan Banyak. Para peneliti bertafsir bahwa seperti kecenderungannya dalam berfilsafat, Plato tidak ingin berpihak pada pendiriannya sendiri, namun ia memilih memositkan pemikirannya agar ia bisa diruntuh oleh pemikir-pemikir kemudian. Dua jalur penjelajahan dengan demikian dibuka oleh Plato untuk ditelusuri.
Hegel menafsirkan Keseluruhan (The Whole) sebagai sebuah kebenaran mutlak. Keseluruhan adalah sebuah penguakan-diri (self-unfolding), bukan sebuah kesatuan-eksternal bagi seorang subjek. Terbesit di dalam Keseluruhan adalah konsepnya sendiri. Memikirkan Keseluruhan berarti mengefektuasikan Keseluruhan itu sendiri. Dengan demikian, totalitas sebagai perwujudan diri, bagi Hegel, adalah sebuah penyatuan dengan yang Sejati (True).
Kant menggantikan prinsip kemestian rujukan sebuah objek pada subjek dalam pemikiran empirisme dengan sebuah gagasan keharmonisan antara subjek dan objek. Objek-objek fenomena bukanlah penampilan, dan juga bukan produk-produk dari kegiatan manusia. Hanya melalui metode transcendental, akal spekulatif, yang terdiri dari konsep-konsep a priori seperti pemahaman, imajinasi, dan logika, objek-objek fenomena bisa dilegislasikan dan disintesiskan menjadi ide dan pengetahuan. Dengan demikian, objek-objek fenomena bisa berkoresponden dengan Ide, dan Ide dengan objek-objek fenomena. Korespondensi ini tentunya tidak disebabkan oleh sebuah subjeksi mutlak tetapi sebuah penyatuan yang tak pasti (indeterminate), seperti sebuah pengandaian atau postulat, karena Akal tidak melegislasikan objek-objek fenomena yang bergerak dalam hukum alam yang mandiri. Bagi Kant, sebuah objek adalah hasil dari sebuah operasi sintesis kesadaran.
Bagaimana Deleuze dan Badiou menanggapi persoalan Satu dan Banyak? Apa rujukan-rujukan mereka yang sekaligus mengayami aliran pemikiran masing-masing dan membedakannya?
Deleuze mengambil dari Duns Scotus (seorang pendeta Katolik, filsuf pertengahan abad tinggi) konsep keberadaan tanpa ambigu (univocity of being) dan singularitas individu (haeccity), dari Hume, empirisme transcendental, dan dari Bergson, virtualitas, dan dari Nietzsche, Pengulangan Abadi (Eternal Return), Lewis Carroll, makna dan nonsens, dan dari matematika Albert Lautman, kemajemukan virtual, untuk membangun sebuah sistem pemikiran yang pada dasarnya menyubtraksi dari multiplisitas dan mengindekskan sebuah kehidupan singular yang imanen.
Dua anasir pemikiran Duns Scotus diapropriasi oleh Deleuze untuk membangun sistemnya: univocity of being (keberadaan tanpa ambigu) dan haeccity (properti singularitas entitas) sebagai fitur individuasi yang terbesit dalam setiap individu. Konsep Keberadaan Tanpa Ambigu (univocity of being) yang diperkenalkan oleh Duns Scotus memositkan bahwa keberadaan, sebagai sebuah pemikiran tanpa ambigu, adalah objek pertama intelek. Keberadaan sendiri adalah sebuah transcendental, begitu juga atribut-atribut keberadaan seperti satu, sejati dan baik, yang bergerak selaras (coextensive) dengan keberadaan, namun masing-masing menambahkan sesuatu padanya. Doktrin keberadaan tanpa ambigu (univocity of being) Duns Scotus mengimplikasikan bahwa tiada perbedaan antara esensi dan eksistensi. Duns Scotus juga menekankan bahwa kita mestinya tidak membuat perbedaan apakah sesuatu eksis dan apa ia sebenarnya, karena pada dasarnya kita tidak mengetahui sesuatu itu eksis, kecuali kita mempunyai satu konsep tentang apa yang kita tahu pasti eksis. Prinsip individuasi Duns Scotus, menandaskan bahwa haecceity (properti singularitas entitas), sebagai sebuah kesatuan individu unik yang bertolak belakang dengan sifat alam (common nature), adalah sebuah fitur yang terbesit dalam setiap individu.
Dua anasir pemikiran Duns Scotus ini sangat memengaruhi Deleuze. Dari situ, Deleuze mengembangkannya dengan memasukkan pemikiran-pemikiran lain menjadi sebuah pemikiran tentang sebuah kehidupan dalam huruf kecil, a life, yang tak terdefinisi, namun di antara-masa, di antara-saat di sebuah bidang transcendental, di mana sebuah singularitas terjadi dan bersentuhan dengan Imanensi.
Di buku terakhirnya Pure Immanence … Essays on a life (Imanensi Murni …sebuah esei tentang sebuah kehidupan) dalam sebuah esei Imanensi: sebuah kehidupan, Deleuze menyingkap pemikiran intinya dalam beberapa linea padat ini:
Sebuah kehidupan immanen yang menyertainya dengan kejadian-kejadian dan singularitas-singularitas yang hanya diaktualisasikan pada subjek-subjek dan objek-objek. Kehidupan tanpa definisi ini dengan sendirinya tidak mempunyai saat-saat, walaupun mereka begitu dekat satu sama yang lain, tetapi hanya di antara-masa, di antara-saat; ia tidak hanya terjadi atau terjadi sesudahnya tetapi menawarkan sebuah imensitas sebuah waktu kosong di mana kita bisa melihat kejadian mendatang dan telah terjadi, dalam kemutlakan kesadaran mendadak … Singularitas-singularitas dan kejadian-kejadian yang mengkonstitusi sebuah kehidupan eksis bersamaan dengan kebetulan-kebetulan kehidupan itu yang mengkoresponden dengannya, tetapi mereka tidak dikelompokan, juga tidak didipisahkan dengan cara yang sama. Mereka berkoneksi dengan satu dan lain melalui cara yang sama sekali berbeda dengan bagaimana individu-individu berkoneksi. Bahkan bisa dikatakan sebuah kehidupan singular bisa berdiri sendiri tanpa individualitas apapun, tanpa tambahan natural apapun yang mengindividualisasikannya … Yang tak terdefinisi dengan demikian adalah penanda bukan sebuah indeterminasi empirical tetapi sebuah determinasi oleh yang imanen atau sebuah determinasi transcendental. Hal tak terdefinisi ini merupakan determinasi seseorang itu hanya karena ia adalah determinasi dari yang singular. Yang Satu bukanlah transcenden yang berisi imanensi tetapi imanen yang terbesit di dalam sebuah bidang transcendental (a transcendental field). Satu selalu adalah sebuah index dari multiplisitas: sebuah kejadian, singularitas, sebuah kehidupan … (Immanence: a Life, hal 29-30)
Momen orgiastic yang seperti digambarkan oleh Deleuze dalam kalimat ini “Kehidupan tanpa definisi ini dengan sendirinya tidak mempunyai saat-saat, walaupun mereka begitu dekat satu sama yang lain, tetapi hanya di antara-masa, di antara-saat; ia tidak hanya terjadi atau terjadi sesudahnya tetapi menawarkan sebuah imensitas sebuah waktu kosong di mana kita bisa melihat kejadian mendatang dan yang telah terjadi, dalam kemutlakan kesadaran mendadak” mengisyaratkan sebuah momen kejadian virtual di mana keberadaan di situ (being-there) lewat sebuah bidang transcendental mengakses imanensi melalui keberadaan tanpa ambigu (Univocity of Being) Dengan pernyataan ini, Deleuze menegaskan bahwa setiap individu dengan haecceity nya masing-masing memiliki sebuah potensi (atau virtualitas) yang pada saat-saat tertentu, seperti pada sebuah kejadian atau sebuah determinasi singularitas, akan mengalami momen keberadaan tanpa ambigu itu (univocity of being). Karena sebuah kehidupan imanen, a life, sarat dengan yang virtual, berpotensi, yang senantiasa dalam proses aktualisasi. Namun demikian, Deleuze menandaskan juga bahwa betapapun tak terpisahkannya antara subjek dan objek dari sebuah aktualisasi, bentang imanensi itu sendiri adalah sebuah virtualitas. Ia pada dasarnya netral. Ia seakan sebuah jembatan untuk beranjaknya sebuah posisi supernumerary. “Kejadian dan singularitas kebetulan memberi bentang itu segala virtualitasnya, seperti bentang imanensi memberikan realitas pada kejadian virtual.” Dengan demikian, aktualitas itu hanya bisa terjadi dalam situasi-situasi dan kondisi sebuah keadaan (state of affairs), a life. Ini tentu saja sebuah rujukan pada aksiom Duns Scotus ‘yang menyatakan bahwa individu eksis adalah prinsip utama untuk memahami realitas.’ Imanensi equivalennya keberadaan tanpa ambigu (univocity of being) adalah sebuah penyatuan virtual.
Apakah kejadian dan singularitas itu? Deleuze, seperti juga Badiou, ingin membangun sebuah sistem dari sebuah posisi supernumerary, yakni sebuah posisi transfinite, di mana multiplisitas murni bisa diseberangi tanpa mengandalkan kesadaran ataupun determinasi empiris, yang mereka rasakan masih merupakan hambatan bagi pemikir-pemikir sebelumnya. Untuk itu, matematika berperan penting sebagai perangkat kerja mereka. Karena merasa bahwa teori tipenya Russell dengan hieraki regresi tanpa batas –- n1→ n2→ n3→n4 — hanya menghasilkan sebuah sintesis berurutan yang sebenarnya homogenous, yakni mengembalikan pada denotasi awal, Deleuze mencari sebuah jalan alternatif yang lebih selaras dengan sistem pemikiran multiplisitasnya, yakni melalui sebuah term donasi makna yang transcendental, atau dalam lingo Badiou bilangan intervallic, Ni, dari sebuah fractal heterogeneous.
Formasi serial ini selalu terwujud secara simultan dari dalam paling sedikit dua seri lainnya. Setiap seri unik, yang term-term homogeneousnya dibedakan hanya sesuai dengan jenis atau derajat, selalu membawahi dua seri heterogeneous, yang masing-masing dikonstitusikan oleh term-term jenis atau derajat yang sama, walaupun term-term ini berbeda sifatnya dibanding dengan seri yang lain (mereka tentunya juga berbeda dalam derajat). Formasi serial dengan demikian pada esensinya multi-serial …
Hukum yang melegislasikan dua seri simultan ini adalah bahwa mereka tidak pernah setara. Yang satu menrepresentasi penanda (signifier), yang lain tertanda (signified). Tetapi berkat terminologi kita, kedua term ini memiliki makna yang spesifik. Kita menamakan penanda (signifier), tanda apa saja yang mempresentasikan dalam dirinya sebuah aspek makna (sense); kita menamakan tertanda (signified), sebaliknya, apa yang berfungsi sebagai korelasi pada aspek makna itu. Apa yang tertanda dengan demikian tidak pernah menjadi makna (sense) itu sendiri. Dalam pengertian sederhana, yang tertanda adalah konsep; dalam pengertian yang lebih extensif, yang teranda adalah apa saja yang akan didefinisikan berdasarkan perbedaan yang terbangun dari aspek makna dengannya. Dus, penanda pada dasarnya adalah kejadian sebagai atribut logika yang ideal dalam sebuah keadaan (state of affairs), dan yang tertanda adalah keadaan (state of affairs) berikut kualitas dan relasinya. Penanda juga merupakan keseluruhan proposisi, sejauh mana ia mencakup semua dimensi, denotasi, manifestasi, signifikansi dalam arti sesungguh-sungguhnya. Terakhir, penanda (signifier) adalah satu-satunya dimensi ekspresi, yang sebenarnya memiliki keistimewaan hak untuk tidak relatif dengan sebuah term mandiri, karena makna (sense) yang terungkap tidak eksis di luar pengungkapan; dan yang tertanda, dalam hal ini, adalah sebuah denotasi, manifestasi, atau bahkan signifikansi dalam arti sesungguh-sungguhnya. Dengan kata lain, yang tertanda (signified) adalah proposisi sejauh mana makna (sense), atau apa yang terungkap, berbeda dengannya. (Logic of Sense, hal 37-38)
Penguraian ini merupakan tulang punggung konsep-konsep Deleuze perihal yang sama dan berbeda (same and difference), pertalian dan kesenjangan (conjunction and disjunction) dan juga dari mana beranjak perumusannya tentang sebuah bidang transcendental (transcendental field), sebuah bidang problematis di mana sebuah potongan (coupure) akan memaksakan bermunculnya sebuah singularitas, sebuah penguakan dari atas, yang memungkinkan seorang individu bersentuhan secara virtual dengan imanensi. Tentunya pertanyaan kita berikut adalah bagaimana seorang individu dengan segala keterbatasan inderawi dan kesadarannya bisa menggapai sebuah posisi transcendental itu, yang tidak peduli (indifferent) dan netral. Deleuze, kembali merujuk pada haecceity (properti singularitas individu) Duns Scotus, via virtualitas Bergson, yang menurutnya pra-individu, meracik sebuah konsep transcendental sejati. Ia menolak pendekatan Kant, Husserl dan Sartre, yang baginya masih mempertahankan kesadaran dalam teori transcendental mereka, dan masih sebuah pseudo-netralisasi. Ia menegaskan: “Ia mesti diraih, tidak sesuai dengan kesenjangan (disjunction) kesadaran, namun sesuai dengan divisi dan pertalian (conjunction) dua kausalitas (yakni internal dan eksternal).”
Pertama-tama, singularitas-kejadian koresponden dengan seri heterogeneous yang tersusun dalam sebuah sistem bukan stabil ataupun tak stabil, tetapi lebih mendekati ‘metastabil,’ yang dianugerahi oleh sebuah energi potensial dalam mana perbedaan-perbedaan antar seri didistribusikan. (Energi potensial adalah energi sebuah kejadian murni, sedangkan bentuk-bentuk aktualisasi berkorespondensi dengan realisasi kejadian.) Kedua, singularitas memiliki sebuah proses auto-unifikasi, selalu bergerak dan digeserkan demikian rupa sehingga suatu anasir paradoksikal melintasi seri-seri itu dan membuatnya beresonasi, menyampulkan titik-titik singular yang berkorespondensi ke dalam sebuah titik aleatori dan semua emisi, semua pelemparan dadu, dalam satu lemparan. Ketiga, singularitas-singularitas dan potensial-pontensial mengerubungi permukaan. Semua terjadi di permukaan dalam sebuah kristal yang berkembang hanya di pinggiran-pinggiran. (Logic of Sense, hal 103)
Menarik untuk sejenak meneliti apa yang ditafsirkan oleh Deleuze sebagai permukaan itu. Deleuze menemukan dari Plato dan Nietzsche dua ekstremitas permukaan. Bila manusia guanya Plato tertarik pada bayangan yang terpantul dari cahaya di luar gua, manusia Nietzschean lebih tertarik pada labirin bayangan itu sendiri. Yang pertama mengejar Benar (Good) absolut yang tak tergapai-gapai, yang terakhir mengejar Kehampaan (Nothingness) yang tanpa dasar. Keduanya bagi Deleuze bukan proposisi yang menguntungkan. Yang pertama membuat kita frustasi, yang terakhir membawa kita ke lubang nihilisme tak berdasar. Maka Deleuze menempatkan operator pemikirannya pada sebuah permukaan yang digambarkannya sebagai permukaan tanpa ketinggian dan kerendahan, dan merujuk pada bidang imanensi (an immanent field) sebagai cakrawala. Bagi Deleuze, makna (sense) hanya bisa mempunyai arti sejati bila ia digali dari nonsense. Jalan di antara-antara ini jelas menjadi rujukan keyakinan Deleuze dalam sistemnya. “Terletak secara aksiomatis sebuah afirmasi definisi ketidaksetaraan (inequality, (≠)) untuk dua bilangan natural, dan di kasus-kasus lain, pada sebuah definisi positif sebuah jarak (≠≠) yang memainkan tiga term dalam sebuah relasi afirmatif seri-seri infinitas. Agar kita bisa menghargai sebuah kekuatan logika atas afirmasi jarak-jarak perbedaan positif dalam anasir murni, kita hanya perlu mempertimbangkan dua proposisi berikut: bila a ≠ b tidak memungkinkan, maka a = b’; bila a jauh dari setiap bilangan c, yang jauh dari b, maka a = b’ … karena intensitas dengan sendirinya sudah merupakan sebuah perbedaan, ia merujuk pada satu seri dari perbedaan-perbedaan lain yang diafirmasikan dengan mengafirmasikan diri … semuanya seperti sebuah penerbangan seekor elang. ” (Difference and Repetition, hlm 294)
Kembali ke penguraian tentang singularitas, Deleuze sadar sepenuhnya bahwa organisme tidak berkembang dengan cara yang sama. Setiap organisme tidak hentinya berkontraksi di ruang dalam dan ekspansi ke luar dalam sebuah proses asimilasi dan eksternalisasi. Ia berspekulasi bahwa selaput-selaput (membranes) dalam organisme membawa potensial-potensial dan membangun kembali polaritas. “Mereka menempatkan yang internal dan eksternal dalam sebuah kontak, tanpa mengindahkan jarak. Yang internal dan eksternal, kedalaman dan ketinggian, hanya punya nilai biologis melalui kontak permukaan topologikal ini.”
Karena sistemnya merujuk pada aksiom Duns Scotus yang menyatakan bahwa individu eksis, dus adanya sebuah kehidupan imanen, Deleuze mau tak mau harus memaksimalkan apa yang bisa dinetralisasikan dalam bahasa dan inderawi. Bila dalam inderawi individu, Deleuze menemukan haecceity yang pra-individu, dalam bahasa ia menemukan dari Lewis Caroll kata-kata portmanteau seperti snark, yang merupakan sebuah paduan kata snake dan ark, dan frumious, sebuah paduan kata fuming dan furious. Kata-kata portmanteau ini dalam susunannya yang membangun seri sintesis kesenjangan (disjunctive) ataupun pertalian (conjunctive) merubuhkan permukaan, melepaskan makna sehingga potensi intrinsik bahasa terkuak. Sistemnya dengan demikian memungkinkan aku-diri, sebuah keretakan (fracture) antara bahasa dan inderawi, kesadaran dan keberadaan, untuk melakukan sebuah penguakan dari bawah (internal) melalui intensitas individu dan menyambut penguakan dari atas (external) yang terjadi dalam sebuah Keberulangan Abadi (Eternal Return), dipinjamnya dari Nietzsche, sebuah proses pengulangan secara intracycle dan extracycle di mana analogi yang sama dan beda dinetralisirkan oleh sebuah negasi dalam pengulangan ketiga, menghadirkan yang Benar (Good), dalam sebuah kontak virtual beradaan tanpa ambigu (univocity of being).
Bagi Badiou, penafsiran tentang multiplisitas tidak memungkinkan adanya Keseluruhan, dalam bentuk apa pun. Ia memproposisikan sebagai berikut: Keseluruhan hanya bisa dipositkan seandainya keberadaan bisa memperhitungkan keberadaannya dalam keseluruhan. Namun dalam multiplisitas berada dua kelompok multiple: yang reflexive dan non-reflexive. Yang pertama bisa memperhitungkan keberadaan dalam keseluruhan, sedangkan yang kedua, seperti sebuah pir (buah pear) dalam keranjang, tidak bisa melakukan itu. Multiple non-reflexive, walaupun ia tidak bisa memperhitungkan keberadaannya dalam keseluruhan, mempresentasikan diri dalam keseluruhan. Bila multiple ini mempresentasikan diri dalam keseluruhan, maka mereka bisa ditafsirkan sebagai reflexive, karena bisa diperhitungkan sebagai bagian dari keseluruhan, padahal mereka sebenarnya non-reflexive. Oleh karena itu, multiple non-reflexive sekaligus reflexive dan non-reflexive, tentu saja ini tidak konsisten; inkonsistensi ini memartisikan Keseluruhan menjadi dua. Maka kita mesti mengasumsikan bahwa multiple non-reflexive tak punya anasir, yakni void. Maka Keseluruhan (Whole) tiada. Dengan derivasi pemikiran seperti ini maka sebuah pemikiran termediasi tentang keberadaan multiple bisa dimulai, yakni dari sebuah titik kekosongan, void, di mana identitas sebuah multiple dapat dipertimbangkan dari posisi komposisinya sendiri, sebuah posisi transcendental.
“Sebuah multiple singular hanya bisa dipikirkan sejauh mana kita bisa mendeterminasi komposisinya (yakni semua anasir yang dimiliknya). Multiple yang tidak memiliki anasir dengan demikian didefinisikan sebagai Kosong, Void. Multiple-multiple lainnya hanya bisa dideterminasi secara mediasi, dengan mempertimbangkan sumber anasir-anasirnya. Dengan demikian, kebisaan mereka dipikirkan mengimplikasikan paling tidak satu multiple dideterminasi dalam pikiran sebelum ‘mereka’.” (Logics of Worlds, hal 113)
Karena tiada keseluruhan, dan konsep semesta inkonsisten, maka tiada prosedur yang sama yang bisa dipergunakan untuk indentifikasi dan diferensiasi apapun yang ada. Keberadaan multiple memasuki sebuah komposisi akan multiple yang lain tanpa bisa berlipat kembali pada yang singular (the Other). Semua identifikasi dan relasi multiple adalah lokal. Lokasi ini, digambarkan Badiou sebagai dunia, adalah tempat di mana operasi aksioma multiple dilakukan, di mana sebuah keberadaan dijamin keberadaannya dan menamakan sebuah titik lain dalam tempat itu. Di antara dua titik inilah terletak sebuah pergerakan operasi, dengan tempat itu (atau dunia) sebagai latar.
“Setiap penampilan dengan demikian berarti sebuah pemindahan dunia; setelah itu, dunia itu menregulasikan secara logis apa yang tampil di dalamnya qua keberadaan di situ (being-there)” (Logics of Worlds, hal 116) Di sini, Badiou mengisyaratkan dua prosedur yang berbeda untuk onto-logi (Being) dan onto-logi (Beings). Bila onto-logi (Being) transcendentalnya adalah prinisip minimalitas dalam aksioma penyatuan (axiom of unions), yakni melalui pendempetan bilangan transitif ordinal pada limit ordinal (ω), batas infinitas pertama, melalui sebuah penggabungan, maka transcendental onto-logi (Beings) adalah sebuah pengindeksan intensitas penampilan dan functor transcendental dipergunakan untuk memetakan titik ke titik dalam sebuah topologi. Penampilan, dengan demikian, bisa dimaknakan sebagai berikut:
a. Membedakan dari diri. Keberadaan di situ (being-there) tidak ‘sama’ seperti keberadaan-qua-keberadaan (being-qua-being). Ia tidak sama, karena pemikiran atas keberadaan-qua-keberadaan tidak menyampulkan (envelope) pemikiran atas keberadaan di situ (being-there)
b. Membedakan dari keberadaan-keberadaan (beings) dalam dunia yang sama. Keberadaan di situ (being-there) adalah sebenarnya keberadaan ini (étant) yang (secara ontologik) bukan yang lain; inskripsinya dengan yang lain dalam dunia ini tidak bisa menghilangkan diferensiasi ini. Di satu sisi, identitas yang terbedakan sebuah keberadaan tidak bisa menjelaskan dengan sendirinya penampilan keberadaan ini dalam sebuah dunia. Namun, di sisi lain, identitas sebuah dunia tidak juga bisa menjelaskan dengan sendirinya perihal penampilan keberadaan dibedakan ini.
Kunci untuk pemikiran penampilan, jikalau ia berhubungan dengan suatu keberadaan singular, terletak pada kemampuan untuk mendeterminasi, pada saat bersamaan, perbedaan-diri yang membuat keberadaan di situ (being-there) bukan keberadaan-qua-keberadaan (being-qua-being), dan perbedaan dari yang lain yang membuat keberadaan di situ (being-there), atau hukum dunia dituruti oleh yang lain, supaya tidak menghilangkan keberadaan-qua-keberadaan (being-qua-being).
Bila penampilan adalah sebuah logika, karena ia tak lain adalah sebuah penandaan perbedaan-perbedaan dari dunia ke dunia. (Logics of Worlds, hal 117)
Dengan demikian, Badiou bisa menyatakan bahwa eksistensi tidak ada (existence is not). 1) Apa yang eksis adalah sebuah penampilan keberadaan murni. 2) Bahwa sebuah multiple eksis tak lain adalah sebuah pengindeksan kontingen sebuah multiple dengan transcendental. Maka eksistensi tiada. 3) Namun, kemestian untuk eksis (atau tampil) secara retroaktif menganugerahkan sebuah keberadaan dengan sebuah konsistensi yang berbeda daripada diseminasi multiple itu sendiri. 4) Oleh sebab itu, ketiadaan-keberadaan (non-being) sebuah eksistensi berarti ia lain daripada keberadaan yang memberadakan keberadaan. Ia adalah keberadaan sebuah objek.
Poin ke-empat diteliti secara saksama mengartikan bahwa bila ketiadaan-keberadaan (non-being) eksistensi adalah bilangan kosong yang memungkinkan terwujudnya sebuah keberadaan satu (count-as-one), maka keberadaan (being-in-itself) daripada keberadaan di situ (being-there) yang sudah menampilkan diri tidak merujuk kembali pada ketiadaan-keberadaan (non-being) itu, tetapi pada keberadaan murni multiplisitas itu sendiri. Dengan kata lain, semua objek penampilan mentaati logika hukum penampilan multiple. Dan penjelasan ini sekaligus mengilustrasikan bahwa teori objek Badiou tidak memiliki subjek. Pemaknaan objek dengan demikian hanya bisa dibangun dari sebuah relasi antara titik-titik topologi melalui pengindeksan transcendental yang mengevaluasi derajat intensitas eksistensi dalam sebuah penampilan dan, melalui sebuah functor transcendental, mendefinisikan sebuah proyeksi pada sebuah objek penampilan yang membuat setiap derajat berkoresponden dengan sebuah anasir sejati dalam multiple yang menggarisbawahi objek itu. Functor transcendental dengan demikian menjamin kejelasan keberanjakan sintesis transcendental dalam penampilan kembali ke sintesis sejati dalam keberadaan multiple. “Kejelasan (intelligibility) baru keberadaan-keberadaan ini sesuai dengan objek-objek yang mereka telah menjadi di dalam sebuah dunia mencapai titik apotheosis ketika didemonstrasikan bahwa keberadaan itu sendiri, dalam kondisi tertentu, bisa disintesiskan (disampulkan), dan dengan demikian diberikan sebuah kesatuan yang berlainan dengan yang menghitungkan multiplisitas murni itu sebagai satu. Semua terjadi seakan penampilan dalam sebuah dunia menganugerahi multiplisitas murni – untuk ‘waktu’ yang diperlukan untuk bereksis dalam sebuah dunia – dengan sebuah bentuk homogenitas yang bisa diinskripsikan dalam keberadaannya. Hasil yang bisa didemonstrasikan ini – yang menunjukkan bahwa penampilan memengaruhi keberadaan sebegitu rupa sehingga keberadaan terjadi dalam sebuah dunia – begitu dahsyat sehingga saya menamakannya ‘teorem fundamental logika atomik (fundamental theorem of atomic logic).’ ” (Logics of Worlds, hal 196-197)
Sebuah relasi senantiasa lokal, namun relasi ini, tergantung intensitas eksistensi relasi ini, mengeksposisikannya pada sebuah pengamatan global yang tanpa batas. Sebagai contoh, Badiou mengilustrasikan relasi antara bumi dan matahari mengeksposisikannya pada Proxima Centauri yang menaunginya dan di kejauhan Spica of Virgo mengamati baik Proxima Centauri maupun bumi dan matahari. Dus pernyataan Badiou, kebenaran itu selalu lokal, namun di cakarawala selalu ada Kebenaran Abadi yang menaunginya.
Setiap kejadian, yang muncul dari sebuah titik dalam topologi, mewujudkan penanda satu (count-as-one) dengan bekas-bekas keberadaan-murni (Being), kemudian ia dihantui oleh bayang-bayang kemurnian multiplisitas dalam penampilan. Setiap kejadian dengan demikian mengkontraksi multiplisitas murni dalam sebuah penampilan Dua, yakni sebuah kristalisasi infinitas dalam sebuah potongan (cut), atau sebuah keputusan: ya atau tidak.
“Korelasi antara infinitas dan Dua, penyaringan yang pertama oleh yang terakhir, tidak memerlukan ‘seorang pemutus’ dalam arti psychologi atau anthropologi. ‘Keputusan’ di sini adalah sebuah metafora bagi sebuah karakteristik transcendental: eksistensi (atau relatif kelemahan eksistensi) derajat-derajat intensitas jenis-jenis penampilan ini dihadapkan pada sebuah tribunal alternatif. Kita boleh mengatakan, secara metaforis juga, bahwa sebuah titik dalam sebuah dunia adalah apa yang memungkinkan sebuah eksposisi untuk didistilasi menjadi sebuah pilihan.” (Logics of Worlds, hal 400)
Dalam sebuah situasi di mana tubuh sang subjek yang terperangkap dalam sebuah penampilan dihadapi oleh sebuah pilihan Dua, sang subjek setia bisa mengaktualisasikan sebuah prosedur kebenaran. Yang menolak penawaran yang terwujud dari kejadian ini akan menjadi seorang subjek reaktif (reactive subject), yang lebih memilih hak-hak sejarah lahiriahnya atau kenyamanan tradisi, dan yang mememlintirkan kejadian menjadi sebuah keyakinan tahyul, menjadi seorang subjek tak jelas (obscure subject), keduanya mengakibatkan kejadiaan itu menjadi sebuah malapetaka. Namun, setiap relasi dalam sebuah dunia senantiasa terkait dalam sebuah perputaran dari satu posisi ke posisi lain dalam sebuah interkoneksi segitiga tidak simitris. Jadi sang subjek reaktif atau pun sang subjek tak jelas bisa saja suatu hari menjadi sang subjek setia. Hidup bagi Badiou adalah melawan kecenderungan-kecenderunga
n subjektif yang menolak kejadian. Hidup adalah untuk mengisi secara retroaktif sebuah ek-sistensi, dalam pengertian Heidegger di mana pijakan (ground) yang terkuak menampilan sebuah kebebasan untuk mengisinya dengan nilai-nilai bermakna.
Baik Deleuze maupun Badiou menolak negasi yang merambah kehidupan sejak penampilan para pemikir, yang digambarkan oleh Badiou sebagai pemikir-pemikir relatifis materialisme demokratis. Karena kedua pemikir menemukan bahwa sebuah negasi dalam bilangan irasional adalah penanda perubahan jua, yakni melalui rumus –(–N), ia bisa dikembalikan ke bilangan positif. Dengan demikian, semua bilangan pada dasarnya homogeneous dan alam tidak mengizinkan dirinya didiseminasikan menjadi serpihan. Bila Deleuze menawarkan sebuah kehidupan sarat disiplin pengendalian diri untuk menyingkirkan segala nafsu dari inderawi, bagaikan sebuah hidupan Stoic, dan melalui sebuah determinasi intensif, seorang subjek bisa bersentuhan dengan imanensi dalam sebuah penyatuan univocal, maka Badiou menawarkan sebuah ek-sistensi yang beranjak dari sebuah aksioma kekosongan di mana prosedur kebenaran, yakni dengan mengambil selangkah demi selangkah, dalam sebuah perjuangan tanpa henti, mengisi kembali sebuah keadaan tidak berimbang, metastate, dalam sebuah formalisme subjektif yang merujuk pada ke sebuah Kebenaran Abadi di cakrawala. Baik Deleuze maupun Badiou adalah pemikir-pemikir afirmatif. Mereka menganjurkan pada kita untuk selalu melihat ke belakang dan melacak jejak-jejak yang ditinggalkan sebuah kejadian yang terkubur karena kurang intensitas, bagi Deleuze hanya perlu menyelaraskan jejak-jejak ini pada sebuah bidang imanensi untuk mengaktifkannya menjadi sebuah singularitas, bagi Badiou menunggu saat-saat perubahan untuk menguakkannya menjadi sebuah kejadian, untuk memulaikan sebuah prosedur kebenaran. Kematian bagi keduanya bukanlah sebuah batasan yang mengekang kita pada finitas, karena ia bukan keberadaan yang punya anasir, tetapi merupakan sebuah titik yang memungkinkan pengembalian pada yang Benar (bagi Deleuze), kejadian (bagi Badiou). Penistaan tubuh atau inderawi, ataupun permainan bahasa (linguistic turn) adalah peninggalan dari pemikir-pemikir materialisme demokratik; keduanya merupakan tindakan-tindakan kalau bukan sadistik adalah masokis (definisi Badiou) dan mereka tidak bisa memungkinkan terwujudnya sebuah transcendental sejati. Maxim Badiou perihal ini adalah “kematian Tuhan tidak melepaskan kita pada finitas, tetapi pada keberadaan infinitas yang selalu menaungi situasi-situasi, dan korelasinya pada sebuah infinitas yang bisa dipikirkan.” (Number and Numbers, hal 86)
Deleuze, di akhir Difference and Repetition, menyerukan: kita semua setara! Badiou menyerukan: kita semua abadi. Dua pandangan filsafat, yang pertama dari seorang pemikir empiris transcendental, yang terakhir dari pemikir materialis dialektik. Kedua pemikir bagaikan sebuah kontraksi multiplisitas murni pada penampilan Dua, menghadapkan kita pada dua pilihan hakiki: Deleuze atau Badiou? Deleuze yang tampaknya mistis menawarkan sebuah kehidupan intensif nomadis, penjelajahan di antara-antara kehidupan dengan determinasi intensif atau Badiou yang tampaknya aksiomatis dan klasik inovatif namun merangkul multiplisitas sejati? Yang jelas, penelusuran Satu dan Banyak yang telah mereka wariskan dari Plato telah dimaksimalkan oleh Deleuze dan dilampaui oleh Badiou. Bila Deleuze mengambil aksioma ketidaksetaraan (axiom of inequality) sebagai pijakan filsafatnya, Badiou mengambil aksioma fondasi (axiom of foundation) sebagai titik permulaan. Problema Deleuze adalah ia masih sangat mengharapkan sebuah penyatuan multiplisitas (Multiple One), seperti terlihat dari penjelasan Deleuze perihal Beda dan Sama dan kemungkinan adanya sebuah Keberulangan Abadi (Eternal Return). Badiou menolak kemungkinan ini karena baginya keberadaan murni (Being) dan keberadaan di situ (Being-There) mesti diakses dengan prosedur yang berbeda. Keberadaan murni (Being) hanya bisa diakses melalui teori himpunan, sedangkan keberadaan di situ (Being-there) mesti merujuk pada hukum logika penampilan, dengan demikian hanya bisa diakses melalui teori kategori. Badiou dalam Logics of Worlds membuktikan bahwa baik keberadaan murni (Being) maupun keberadaan di situ (Being-there) bisa diakses dari sebuah posisi transcendental yang netral. Oleh karena itu, ia menyatakan kita hidup dalam dunia-dunia, dan setiap dunia adalah infinite. Badiou juga menyatakan dalam bukunya Briefings on Existence bahwa filsafat sebenarnya sudah dibebaskan (released) dari sains, epistemologi dan berbagai disiplin lainnya, karena matematika sudah mengambil alih tugasnya, tetapi karena matematika adalah sebuah pikiran yang tidak bisa mengrefleksikan keberadaan sendiri, maka filsafat masih diperlukan untuk menjelaskan pikiran yang imanen dalam matematika.
Pemikiran-pemikiran ini menantang kita untuk mengambil langkah berikut. Tetapi penelusuran berikut telah dinaikan pangkat kesukarannya. Seperti Plato yang memasang palang di atas gerbang Akademinya, Badiou sekarang kembali memasang palang itu: palang itu berbunyi, Yang Tidak Berbekal Geometri Jangan Masuk.
Studi perbandingan pemikiran antara Deleuze dan Badiou ini di beberapa bagian telah saya revisi dari materi yang telah saya presentasikan dalam sebuah forum diskusi filsafat.
Jakarta, 8 Agustus 2009